Jumat, 28 September 2012

Puasa-Puasa Sunnah

Oleh: Abu Yusuf Abdurrahman
Hukum-Hukum dalam Puasa Sunnah
  1. Tidak Dipersyaratkan Meniatkan Puasa Pada Malam Hari
Berbeda dengan puasa wajib yang harus berniat sejak malam hari, puasa sunnah boleh diniatkan pada siang harinya.Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i, dari ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah r bertanya kepadanya pada suatu siang, “Apakah engkau memiliki sesuatu [untuk dimakan]?” ‘A`isyah pun menjawab, “Kita tidak memiliki sesuatu.” Rasulullah r pun mengatakan, “Jika demikian aku puasa.”
Ibnu Qudamah mengatakan dalam buku beliau, Al-Mughni, “Barang siapa berniat puasa sunnah pada siang hari dan dia belum makan sesuatu, maka puasa tersebut sah baginya.” Dan di dalam kitab yang sama, beliau menjelaskan bahwa ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Beliau selanjutnya mengatakan, “Diperbolehkan untuk berniat puasa kapan pun pada siang hari tersebut. Baik dia berniat sebelum zawal (masuk waktu zhuhur) atau sesudahnya.” [Al-Mughni]
Seorang ulama pada masa tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, pernah ditanya, “Saya belum makan hingga zhuhur atau ashar, apakah saya boleh puasa pada sisa hari saya?” Beliau pun menjawab, “Ya.”
  1. Diperbolehkan Membatalkan Puasa Sunnah Meski Tanpa Udzur
Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ummu Hani` bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa terhadap dirinya. Jika  ingin silakan berpuasa, dan jika ingin silakan berbuka.” [Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani]. Meski demikian, lebih diutamakan untuk menyempurnakan puasa.
Jika orang itu membatalkan puasanya, maka tidak wajib baginya untuk menggantinya di hari lain. Imam At-Tirmidzi mengatakan setelah menyebutkan hadits Ummu Hani` di atas, “Beberapa ulama dari kalangan sahabat Nabi r mengamalkan hadits ini, bahwasanya orang yang berpuasa sunnah jika berbuka, maka tidak diharuskan untuk menggantinya di hari lain, kecuali apabila dia ingin. Dan ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq [bin Rahawaih], dan Asy-Syafi’i.” [Sunan At-Tirmidzi].
  1. Wajib Bagi Wanita Untuk Meminta Izin Kepada Suaminya
Hukum ini diambil dari hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya [dalam satu riwayat: selain puasa Ramadhan]. Dan tidak halal pula dia mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran bahwa hak suami atas istri lebih diprioritaskan daripada amalan sunnah. Karena, hak suami adalah wajib, dan melaksanakan yang wajib lebih diprioritaskan daripada melaksanakan sunnah.” [Fathul Bari]. Dengan dasar ucapan dari Ibnu Hajar ini, diperbolehkan bagi seorang istri untuk berpuasa sunnah tanpa izin suaminya apabila suaminya tidak ada di rumah, hal ini karena hak suami tidak tersia-siakan.
Perlu diketahui bahwa izin suami kepada istri tidak harus secara tegas. Bisa jadi dengan diamnya suami menunjukkan izin kepada istri untuk berpuasa.
Jika seorang istri berpuasa tanpa izin dari suaminya, maka puasanya sah, hanya saja dia berdosa karena melakukan sesuatu yang dilarang.
Macam-Macam Puasa Sunnah
Pembaca yang budiman, telah kita ketahui bahwasanya suatu ibadah tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan disertai keikhlasan kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah r. Maka, kita tidak boleh mengamalkan ibadah yang tidak dituntunkan oleh beliau r. Demikian pula puasa sunnah, kita tidak boleh mengamalkan yang tidak beliau r tuntunkan. Dan Rasulullah r telah menjelaskan macam-macam puasa sunnah disertai dengan keutamaannya di dalam hadits-hadits beliau yang shahih. Macam-macam puasa tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Puasa enam hari di bulan Syawwal
Dari Abu Ayyub Al-Anshari t, bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Barang siapa berpuasa Ramadhan, lalu mengikutkannya dengan enam hari di bulan Syawwal, maka hal itu bagaikan puasa satu tahun.” [H.R. Muslim].
  1. Puasa 9 Hari Awal Bulan Dzul Hijjah
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sebagian istri Nabi r, bahwasanya Rasulullah r biasa berpuasa sembilan hari (awal) Dzul Hijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan: Senin pertama dan Kamis. [H.R. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani].
Dan hari yang paling dianjurkan untuk berpuasa di antara sembilan hari ini adalah hari kesembilan (Hari ‘Arafah). Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah t, bahwasanya Rasulullah r ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab:

“Menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” [H.R. Muslim]. Puasa Hari Arafah ini disunnahkan bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Adapun bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, makruh bagi mereka untuk melaksanakan puasa ini dikarenakan Rasulullah r, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman tidak melakukan puasa ini ketika berhaji serta dikarenakan orang yang berhaji memerlukan kekuatan pada hari-hari tersebut.
Adapun hadits mengenai keutamaan puasa hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) secara khusus, maka ini adalah hadits yang palsu. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Puasa hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun dan puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.” [H.R. Abusy Syaikh dan Ibnun Najjar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, Maudhu’ (palsu)”]. Maka, kita berpuasa pada hari tersebut tidak berlandaskan dengan hadits ini, namun dengan keumuman hadits yang telah kita sebutkan di muka.
  1. Puasa Pada Bulan Muharram
Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda:

“Puasa yang paling baik setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” [H.R. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad].
Kemudian, hari yang paling ditekankan untuk berpuasa pada bulan ini adalah hari kesepuluh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwasanya Rasulullah r ditanya mengenai puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), maka beliau menjawab:

“Menghapuskan satu tahun yang telah lalu.” [H.R. Muslim].
Disunnahkan untuk berpuasa juga pada hari yang kesembilan untuk menyelisihi Yahudi dan Nasrani berdasarkan riwayat Muslim, bahwasanya Ibnu ‘Abbas berkata kepada Rasulullah r saat beliau berpuasa hari ‘Asyura, “Bukankah ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani?” maka beliau r mengatakan:

“Tahun depan Insya Allah kita berpuasa hari yang kesembilan.” Namun pada tahun setelahnya, Rasulullah r wafat sebelum melaksanakan keinginannya ini. [H.R. Muslim].
  1. Puasa Bulan Sya’ban
Istri Nabi r, ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Rasulullah r puasa lebih banyak daripada di bulan Sya’ban. Beliau dahulu berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Adapun hadits:

“Jika bulan Sya’ban sudah berlalu setengahnya, maka janganlah kalian berpuasa.” [H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani], larangan di dalam hadits ini adalah jika berniat menyengaja mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa. Namun apabila dia biasa berpuasa pada hari-hari tersebut dan tidak menyengaja untuk mendahului Ramadhan dengan puasa, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana hadits:

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa padanya, maka silakan berpuasa.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
  1. Puasa Hari Senin dan Kamis
Dari Abu Hurairah t, bahwasanya Rasulullah r bersabda:

“Amalan dibacakan pada hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amalku dibacakan dalam keadaan aku sedang berpuasa.” [H.R. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani].
  1. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan (Yakni Bulan Qamariah)
Rasulullah r bersabda kepada ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
???? ???? ????????? ????????? ????????? ??????? ??????????? ???????? ???????????? ???????? ?????? ??????? ?????????
“Berpuasalah tiga hari tiap bulan. Karena kebaikan dibalas sepuluh kalinya, maka hal itu seperti halnya puasa selamanya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Diperbolehkan untuk berpuasa pada tiga hari manapun pada tiap bulan. Akan tetapi, yang lebih disukai untuk berpuasa padanya adalah tanggal 13, 14, dan 15 yang sering disebut dengan yaumul bidh (hari putih). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah r kepada Abu Dzar:

“Jika engkau berpuasa setiap bulan tiga hari, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” [H.R. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
  1. Puasa Nabi Dawud u, Puasa Terbaik
Puasa Nabi Dawud adalah berpuasa sehari kemudian berbuka sehari demikian seterusnya. Rasulullah r menganjurkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma saat dia bertekad untuk berpuasa siang hari dan shalat malam tiap harinya selama dia hidup:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu adalah puasa Nabi Dawud u, dan itu adalah puasa yang paling adil.” Abdullah menukas, “Aku mampu yang lebih baik dari ini.” Rasulullah r pun menjawab (artinya), “Tidak ada puasa yang lebih baik darinya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Pembaca yang budiman, demikianlah yang bisa kita bahas pada lembaran singkat ini. Semoga Allah I menjadikan kita sebagai pengikut Nabi-Nya r yang beramal dengan tuntunannya. Amin ya mujibas sa`ilin.
Sebarkan tulisan ini :

Sebarkan :

0 komentar:

Posting Komentar