This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 28 September 2012

Mendulang Pahala di Bulan Sya’ban

Oleh: Abu Hisyam Sofyan A. N.


Bulan Sya’ban, apa dan mengapa?
Bulan sya’ban -atau yang disebut bulan Ruwah menurut kalender jawa-, konon memiliki suatu keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Sehingga, berbagai bentuk ibadah -yang lebih tepat disebut sebagai suatu prosesi sakral, ritual keagamaan, atau tradisi leluhur- semarak digelar di berbagai pelosok kota dan desa. Seluruh elemen masyarakat dengan penuh semangat dan khidmat bahu-membahu berusaha menyukseskan acara yang akan digelar. Tak ayal, biaya yang begitu besar akan rela mereka korbankan untuknya. Suatu yang indah memang apabila kita melihat kaum muslimin mulai bersemangat menghidupkan agamanya. Akan tetapi, apakah acara-acara tersebut memang termasuk bagian dari agama ini?
Pembaca yang budiman, agama Islam adalah agama yang telah sempurna dan disempurnakan. Segala bentuk kebaikan telah diajarkan dan  ditunjukan oleh Rasulullah `. Di dalam salah satu haditsnya beliau pernah bersabda yang artinya, “Tidaklah nabi-nabi sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menerangkan kepada umatnya segala bentuk kebaikan yang ia ketahui untuk mereka. Dan wajib pula bagi mereka untuk memperingatkan kaumnya segala bentuk kejelekan yang ia ketahui untuk mereka” [H.R. Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr]. Begitu pula Nabi kita, Muhammad `. Kita wajib meyakini bahwa tidaklah beliau wafat setelah menyampaikan segala bentuk kebaikan yang beliau ketahui kepada umat ini. Sehingga, Imam Malik pernah bertutur, “Barang siapa yang membuat suatu perkara yang baru di dalam agama Islam yang ia pandang sebuah kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa nabi Muhammad ` telah berkhianat di dalam menyampaikan risalah. Karena Allah telah berfirman, ‘Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kalian agama kalian’ [Al-Maidah:3]. Sehingga, segala perkara yang bukan termasuk agama di masa beliau, di saat ini pun perkara itu bukan termasuk agama ini.”.
Dapat kita simpulkan dari ucapan Imam Malik di atas bahwa tambahan agama apapun yang tidak dicontohkan Nabi Muhammad ` tidak boleh kita amalkan, walaupun itu dianggap sebagai suatu kebaikan. Dan apa yang kita garis bawahi diatas harus kita jadikan sebagai pedoman dan prinsip di dalam kita beribadah kepada Allah.
Kaedah dalam beribadah
Pembaca yang budiman, terdapat sebuah prinsip penting yang harus dipegang oleh kaum muslimin seluruhnya. Bahwa, di dalam kita beribadah kepada Allah haruslah didasari Al-Qur`an dan hadits shahih atau hasan. Maksudnya, apabila terdapat dalil dari Al-Qur`an ataupun hadits shahih atau hasan yang menunjukan disyariatkannya ibadah tersebut, maka ibadah itu kita lakukan. Demikian pula sebaliknya, apabila tidak terdapat dalil yang mensyariatkannya, maka kita harus meninggalkannya. Apalagi jika ternyata terdapat dalil yang menentangnya, tentu saja perkara itu wajib kita tinggalkan walaupun banyak manusia yang melakukannya. Demikianlah adanya, ibadah tidaklah dapat dibuat-buat dengan hawa nafsu semata. Atau sekedar mengikuti tradisi leluhur dan nenek moyang yang telah ada. Dan lebih parah lagi jika hanya akal-akalan, perasaan hati, bahkan mimpi semata.
Rasululah ` pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”. [H.R. Muslim dari  sahabat ‘Aisyah x]. Adakah diantara kita yang rela amalan kita ditolak dan tidak diterima sementara kita telah mengorbankan banyak hal untuk melakukannya?
Sya’ban: Bulan Amal
Pembaca yang budiman, berkaitan dengan bulan Sya’ban, Nabi ` telah memberi teladan bagi kita untuk mengamalkan amalan yang tertuang dalam beberapa hadits berikut:
  • Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa sedemikian rupa sebagaimana yang Anda lakukan di bulan Sya’ban.” Maka Rasulullah ` bersabda, “Ini adalah bulan yang banyak dilupakan manusia. Ia berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Pada bulan itu amalan-amalan para hamba diangkat. Maka aku pun senang jika amalanku diangkat hanya dalam keadaan aku berpuasa”. [H.R. an-Nasa`i dari sahabat Usamah bin Zaid z dan di hasankan Al-Albani t] Hadits ini menerangkan salah satu keutamaan bulan Sya’ban bahwa  di bulan ini amalan-amalan para hamba diangkat.
  • ‘Aisyah pernah bercerita, “Tidaklah aku melihat Rasulullah banyak berpuasa melainkan di bulan Sya’ban”[H.R. Al-Bukhari dan Muslimi]
  • ‘Aisyah juga berkata, “Bulan yang paling disukai oleh Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau melanjutkannya dengan Ramadhan” [H.R. Abu Dawud dan dihasankan Al Albani].
  • Di dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata bahwa Nabi mengerjakan puasa di sepanjang bulan Sya’ban. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Pada riwayat lain Ia menyebutkan bahwa Nabi berpuasa pada bulan ini “kecuali sedikit saja”[H.R. an Nasai dan Tirmidzi]. Bagaimanakah mengkompromikan riwayat-riwayat tersebut? Ibnu Hajar menerangkan bahwa ucapan ‘Aisyah “sepanjang bulan Sya’ban”, maka yang dimaukan dengannya adalah kebanyakannya. Dikarenakan orang arab terkadang menggunakan kata “sepanjang” dan ia yang maukan dengannya kebanyakannya. Sehingga tidak ada pertentangan dengan riwayat yang menyatakan “kecuali sedikit saja’ [lihat Fathul Bari].
Kompromi Antar-Hadits
Sabda Rasulullah, “Apabila bulan Sya’ban telah mencapai setengahnya, maka janganlah kalian berpuasa” [H.R. Abu Dawud, An-Nasai, dan lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan dishahihkan oleh Al-Albani], demikian pula sabda beliau,“ Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah terbiasa melakukan suatu puasa maka hendaknya ia melakukannya” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah] seakan-akan hadits tersebut bertentangan dengan kebiasaan Rasulullah memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban. Sementara dua hadits ini menyebutkan larangan Rasulullah ` untuk berpuasa sebelum bulan Ramadhan, hadits yang telah lewat di depan menegaskan bahwa Rasulullah ` banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Bagaimana mengkompromikannya? Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dilarang dalam hadits tersebut adalah orang yang berpuasa karena ragu sudah masuk Ramadhan atau belum. Maka, orang yang terbiasa puasa sunnah lalu menepati waktu itu dan tidak dikarenakan ragu telah masuk bulan Ramadhan atau belum, tidak mengapa untuk berpuasa pada hari-hari tersebut. [Fathul Bari].
Kesimpulannya, berpuasa di bulan Sya’ban merupakan sesuatu yang disyariatkan. Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat dalil mengenai keutamaan berpuasa di bulan Sya’ban”. [Fathul Bari].
Malam Nishfu Sya’ban (Pertengahan Bulan Sya’ban)
Tersebar di tengah-tengah kaum muslimin bahwa malam ini memiliki sebuah keutamaan. Sehingga, kita jumpai banyak di antara mereka yang sedemikian bersemangat untuk menghidupkan malamnya dengan suatu amalan tertentu. Yang harus kita perhatikan, apa dasar yang mensyariakan amalan-amalam tersebut?
Terdapat beberapa hadits yang menunjukan keutamaan malam tersebut. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai keshahihan hadits-hadits tersebut. Dan pendapat yang terkuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if (lemah). Sehingga, tidak boleh kita beramal dan beribadah bersandarkan hadits-hadits tadi. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Terdapat beberapa hadits yang berkaitan mengenai keutamaan malam nishfu Sya’ban, tetapi terjadi silang pendapat di antara para ulama mengenai keshahihannya. Dan mayoritas ulama melemahkannya.”. [Lathaiful Ma’arif].
Di antara deretan para ulama yang melemahkannya adalah Imam Daruqutni, Al-‘Uqaili, Ibnul Jauzi, Abul Khaththab, Ibnul ‘Arabi, al Qurthubi, dan ulama lainnya. Bahkan Ibnu Rajab juga mengemukakaan bahwa keutamaan malam nishfu Sya’ban berasal dari ajaran Bani Israil [Lathaiful Ma’arif] yakni bukan dari ajaran Nabi Muhammad.
Kemudian, seandainya hadits-hadits tersebut kita anggap shahih, tentu saja Nabi Muhammad ` lebih mengetahui amalan apa yang paling baik dilaksanakan pada malam tersebut. Kenyataannya, tidak diriwayatkan dari beliau pengkhususan malam tersebut dengan suatu amalan tertentu. Padahal, kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad ` adalah orang yang paling bersemangat dalam beribadah dan menerangkan kebaikan pada manusia. Demikian pula tidak disebutkan dari para sahabat beliau padahal mereka adalah kaum yang sangat bersemangat mengikuti dan menyampaikan semua ajaran Nabi Muhammad `.
Kesimpulannya, amalan yang dilaksanakan sebagian kaum muslimin berupa berkumpul secara khusus untuk melakukan ibadah tertentu pada setiap tahunnya di malam nishfu Sya’ban merupakan suatu tambahan dalam agama yang dilarang oleh Allah. Mayoritas ulama bersepakat mengenai hal ini, sebagaimana dinukil oleh at-Thurtusi, Abu Syamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab t dan lain-lainnya.
Shalat Alfiyah
Para pembaca yang budiman, di antara amalan yang dilakukan di malam nishfu Sya’ban adalah Shalat Alfiyah (Seribu). Shalat ini dinamakan demikian karena di shalat ini Surat Al-Ikhlas dibaca sebanyak seribu kali. Dengan rincian, shalat ini berjumlah seratus rakaat, setiap rakaat membaca Surat Al-Ikhlas sebanyak sepuluh kali.
Dasar dari amalan ini adalah sebuah hadits yang menerangkan tentang shalat tersebut. Akan tetapi, ternyata para ulama telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu) yakni sebagian orang membuat-buat hadits tersebut. Ketika mengomentari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, Ibnul Jauzi berkata, “Kami tidak ragu lagi akan kepalsuan hadits ini.”[Lihat Al-Maudhu’at] Imam As-Syaukani juga berkata, “Telah diriwayatkan mengenai keutamaan shalat ini (shalat malam nishfu Sya’ban) dengan jalan yang beraneka ragam. Akan tetapi semuanya adalah hadits yang batil dan maudhu’ (palsu)[Al-Fawaid Al-Majmu’ah]. Demikian pula yang ditetapkan oleh as-Suyuthi, Ibnu Taimiyah, Abusy Syamah, Asy-Syuqairi, Asy-Syaukani rahimahumullah dan ulama-ulama yang lain. Sehingga, mayoritas para ulama pun bersepakat bahwa shalat Alfiyah ini adalah suatu amalan yang tidak disyariatkan.
Setelah kita mengetahui bahwa hadits yang berbicara dengan masalah ini maudhu’, ternyata shalat ini pertama kali diperkenalkan kepada manusia oleh Ibnu Abil Hamra`, bukan dari Rasulullah `. Pada tahun 448 H di malam pertengahan Sya’ban, ia shalat di Masjidil Aqsha. Ia adalah seorang yang bagus bacaannya, sehingga banyak orang yang bermakmum padanya. Pada tahun berikutnya, berita ini tersebar ke berbagai penjuru kota, hingga akhirnya mereka pun melakukannya dan menganggapnya suatu amalan yang disyariatkan oleh Rasulullah. Akhirnya, amalan yang diadakan ini terus berlangsung hingga sekarang. [Al-Hawadits wal Bida’ karya at Thurtusi].
Selain itu, Imam An-Nawawi t -salah seorang ulama besar madzhab Syafi’iyah- berkata, “Shalat Ragha`ib dan shalat Nishfu Sya’ban, keduanya adalah shalat yang diada-adakan (bid’ah), amalan yang mungkar dan jelek.” [Majmu’ Syarh Muhadzdzab].
Demikianlah yang dapat kita bahas dalam lembaran singkat ini. Terdapat beberapa amalan lain yang banyak dilakukan manusia pada bulan ini yang tidak mungkin dibahas dalam kesempatan ini. Nasehat kami, hendaklah kita bersemangat mengikuti semua ajaran nabi Muhammad ` sebagaimana kita juga harus berhati-hati dalam beribadah kepada Allah. Karena, banyak tersebar di zaman ini amalan yang sejatinya bukan berasal dari ajaran Rasulullah `. Kita harus pandai memilih dan mengetahui ibadah mana yang benar untuk dapat kita lakukan dan ibadah mana yang batil untuk kita tinggalkan. Tentunya, kita semua tidak menginginkan amalan yang kita lakukan tertolak dikarenakan ia tidak memiliki contoh dari Nabi Muhammad. Ibnu Mas’ud pernah bertutur, “Bersedang-sedang dalam melakukan amalan yang disyariatkan lebih baik daripada bersungguh-sunguh melakukan amalan kebid’ahan”. Wallahu a’lam.
Sebarkan tulisan ini :
Sebarkan :

Puasa-Puasa Sunnah

Oleh: Abu Yusuf Abdurrahman
Hukum-Hukum dalam Puasa Sunnah
  1. Tidak Dipersyaratkan Meniatkan Puasa Pada Malam Hari
Berbeda dengan puasa wajib yang harus berniat sejak malam hari, puasa sunnah boleh diniatkan pada siang harinya.Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i, dari ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah r bertanya kepadanya pada suatu siang, “Apakah engkau memiliki sesuatu [untuk dimakan]?” ‘A`isyah pun menjawab, “Kita tidak memiliki sesuatu.” Rasulullah r pun mengatakan, “Jika demikian aku puasa.”
Ibnu Qudamah mengatakan dalam buku beliau, Al-Mughni, “Barang siapa berniat puasa sunnah pada siang hari dan dia belum makan sesuatu, maka puasa tersebut sah baginya.” Dan di dalam kitab yang sama, beliau menjelaskan bahwa ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Beliau selanjutnya mengatakan, “Diperbolehkan untuk berniat puasa kapan pun pada siang hari tersebut. Baik dia berniat sebelum zawal (masuk waktu zhuhur) atau sesudahnya.” [Al-Mughni]
Seorang ulama pada masa tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, pernah ditanya, “Saya belum makan hingga zhuhur atau ashar, apakah saya boleh puasa pada sisa hari saya?” Beliau pun menjawab, “Ya.”
  1. Diperbolehkan Membatalkan Puasa Sunnah Meski Tanpa Udzur
Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ummu Hani` bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa terhadap dirinya. Jika  ingin silakan berpuasa, dan jika ingin silakan berbuka.” [Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani]. Meski demikian, lebih diutamakan untuk menyempurnakan puasa.
Jika orang itu membatalkan puasanya, maka tidak wajib baginya untuk menggantinya di hari lain. Imam At-Tirmidzi mengatakan setelah menyebutkan hadits Ummu Hani` di atas, “Beberapa ulama dari kalangan sahabat Nabi r mengamalkan hadits ini, bahwasanya orang yang berpuasa sunnah jika berbuka, maka tidak diharuskan untuk menggantinya di hari lain, kecuali apabila dia ingin. Dan ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq [bin Rahawaih], dan Asy-Syafi’i.” [Sunan At-Tirmidzi].
  1. Wajib Bagi Wanita Untuk Meminta Izin Kepada Suaminya
Hukum ini diambil dari hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya [dalam satu riwayat: selain puasa Ramadhan]. Dan tidak halal pula dia mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran bahwa hak suami atas istri lebih diprioritaskan daripada amalan sunnah. Karena, hak suami adalah wajib, dan melaksanakan yang wajib lebih diprioritaskan daripada melaksanakan sunnah.” [Fathul Bari]. Dengan dasar ucapan dari Ibnu Hajar ini, diperbolehkan bagi seorang istri untuk berpuasa sunnah tanpa izin suaminya apabila suaminya tidak ada di rumah, hal ini karena hak suami tidak tersia-siakan.
Perlu diketahui bahwa izin suami kepada istri tidak harus secara tegas. Bisa jadi dengan diamnya suami menunjukkan izin kepada istri untuk berpuasa.
Jika seorang istri berpuasa tanpa izin dari suaminya, maka puasanya sah, hanya saja dia berdosa karena melakukan sesuatu yang dilarang.
Macam-Macam Puasa Sunnah
Pembaca yang budiman, telah kita ketahui bahwasanya suatu ibadah tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan disertai keikhlasan kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah r. Maka, kita tidak boleh mengamalkan ibadah yang tidak dituntunkan oleh beliau r. Demikian pula puasa sunnah, kita tidak boleh mengamalkan yang tidak beliau r tuntunkan. Dan Rasulullah r telah menjelaskan macam-macam puasa sunnah disertai dengan keutamaannya di dalam hadits-hadits beliau yang shahih. Macam-macam puasa tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Puasa enam hari di bulan Syawwal
Dari Abu Ayyub Al-Anshari t, bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Barang siapa berpuasa Ramadhan, lalu mengikutkannya dengan enam hari di bulan Syawwal, maka hal itu bagaikan puasa satu tahun.” [H.R. Muslim].
  1. Puasa 9 Hari Awal Bulan Dzul Hijjah
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sebagian istri Nabi r, bahwasanya Rasulullah r biasa berpuasa sembilan hari (awal) Dzul Hijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan: Senin pertama dan Kamis. [H.R. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani].
Dan hari yang paling dianjurkan untuk berpuasa di antara sembilan hari ini adalah hari kesembilan (Hari ‘Arafah). Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah t, bahwasanya Rasulullah r ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab:

“Menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” [H.R. Muslim]. Puasa Hari Arafah ini disunnahkan bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Adapun bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, makruh bagi mereka untuk melaksanakan puasa ini dikarenakan Rasulullah r, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman tidak melakukan puasa ini ketika berhaji serta dikarenakan orang yang berhaji memerlukan kekuatan pada hari-hari tersebut.
Adapun hadits mengenai keutamaan puasa hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) secara khusus, maka ini adalah hadits yang palsu. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah r bersabda:


“Puasa hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun dan puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.” [H.R. Abusy Syaikh dan Ibnun Najjar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, Maudhu’ (palsu)”]. Maka, kita berpuasa pada hari tersebut tidak berlandaskan dengan hadits ini, namun dengan keumuman hadits yang telah kita sebutkan di muka.
  1. Puasa Pada Bulan Muharram
Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda:

“Puasa yang paling baik setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” [H.R. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad].
Kemudian, hari yang paling ditekankan untuk berpuasa pada bulan ini adalah hari kesepuluh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwasanya Rasulullah r ditanya mengenai puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), maka beliau menjawab:

“Menghapuskan satu tahun yang telah lalu.” [H.R. Muslim].
Disunnahkan untuk berpuasa juga pada hari yang kesembilan untuk menyelisihi Yahudi dan Nasrani berdasarkan riwayat Muslim, bahwasanya Ibnu ‘Abbas berkata kepada Rasulullah r saat beliau berpuasa hari ‘Asyura, “Bukankah ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani?” maka beliau r mengatakan:

“Tahun depan Insya Allah kita berpuasa hari yang kesembilan.” Namun pada tahun setelahnya, Rasulullah r wafat sebelum melaksanakan keinginannya ini. [H.R. Muslim].
  1. Puasa Bulan Sya’ban
Istri Nabi r, ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Rasulullah r puasa lebih banyak daripada di bulan Sya’ban. Beliau dahulu berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Adapun hadits:

“Jika bulan Sya’ban sudah berlalu setengahnya, maka janganlah kalian berpuasa.” [H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani], larangan di dalam hadits ini adalah jika berniat menyengaja mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa. Namun apabila dia biasa berpuasa pada hari-hari tersebut dan tidak menyengaja untuk mendahului Ramadhan dengan puasa, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana hadits:

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa padanya, maka silakan berpuasa.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
  1. Puasa Hari Senin dan Kamis
Dari Abu Hurairah t, bahwasanya Rasulullah r bersabda:

“Amalan dibacakan pada hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amalku dibacakan dalam keadaan aku sedang berpuasa.” [H.R. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani].
  1. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan (Yakni Bulan Qamariah)
Rasulullah r bersabda kepada ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
???? ???? ????????? ????????? ????????? ??????? ??????????? ???????? ???????????? ???????? ?????? ??????? ?????????
“Berpuasalah tiga hari tiap bulan. Karena kebaikan dibalas sepuluh kalinya, maka hal itu seperti halnya puasa selamanya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Diperbolehkan untuk berpuasa pada tiga hari manapun pada tiap bulan. Akan tetapi, yang lebih disukai untuk berpuasa padanya adalah tanggal 13, 14, dan 15 yang sering disebut dengan yaumul bidh (hari putih). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah r kepada Abu Dzar:

“Jika engkau berpuasa setiap bulan tiga hari, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” [H.R. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
  1. Puasa Nabi Dawud u, Puasa Terbaik
Puasa Nabi Dawud adalah berpuasa sehari kemudian berbuka sehari demikian seterusnya. Rasulullah r menganjurkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma saat dia bertekad untuk berpuasa siang hari dan shalat malam tiap harinya selama dia hidup:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu adalah puasa Nabi Dawud u, dan itu adalah puasa yang paling adil.” Abdullah menukas, “Aku mampu yang lebih baik dari ini.” Rasulullah r pun menjawab (artinya), “Tidak ada puasa yang lebih baik darinya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Pembaca yang budiman, demikianlah yang bisa kita bahas pada lembaran singkat ini. Semoga Allah I menjadikan kita sebagai pengikut Nabi-Nya r yang beramal dengan tuntunannya. Amin ya mujibas sa`ilin.
Sebarkan tulisan ini :

Sebarkan :

Hadiah

Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak jarang terjadi perselisihan dan pertikaian antara sesama mereka. Terkadang perselisihan tersebut akan bertambah tajam jikalau tidak segera ditangani dan dicarikan solusi. Terlebih lagi adanya syaithan ‘sang musuh abadi’ yang tidak akan rela bila kaum muslimin hidup rukun, damai dan saling mencintai. Setiap waktu ia akan berusaha untuk menciptakan konflik dan menyulutnya diantara kaum muslimin.
Islam, telah mengajarkan segala kebaikan bagi para pemeluknya. Termasuk dalam hal ini adalah mengajarkan bagaimana cara menghilangkan sikap permusuhan dan sekaligus menciptakan rasa saling cinta. Salah satu caranya adalah dengan saling memberikan hadiah antara sesama mereka. Berikut ini ada sedikit pembahasan mengenai hadiah, semoga dapat bermanfaat.
 
Hukum memberi hadiah asalnya adalah boleh ketika tidak ada penghalang dalam syariat. Namun hukum asal tersebut dapat berubah menjadi sunnah ketika hadiah ini diberikan dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian serta menciptakan rasa saling sayang dan cinta antara sesama muslim. Hadiah juga dianjurkan apabila diberikan dengan tujuan untuk membalas hadiah. Berubah pula hukum boleh tersebut menjadi haram apabila hadiah itu dari sesuatu yang haram atau dengan tujuan yang haram. Perintah untuk saling memberikan hadiah telah disebu
tkan dalam sunnah Rasulullah `, di antaranya adalah sabda beliau ` dari sahabat Abu Hurairah z:
تهادوا تحابوا
Salinglah memberi hadiah antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.“ [H.R. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].

Hukum Menerima Hadiah
Menerima hadiah menurut pendapat yang kuat adalah wajib, dengan catatan hadiah tersebut adalah hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang dalam pandangan syariat yang bisa dijadikan alasan untuk menolak hadiah.
Kewajiban untuk menerima hadiah tersebut telah diperintahkan, bahkan dilakukan sendiri oleh Rasulullah `. Dari Abdullah bin Mas’ud z, bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Penuhilah undangan, janganlah kalian menolak hadiah dan janganlah pula kalian memukul kaum muslimin.”  [HR Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].
Juga disebutkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang Allah berikan kepadanya sesuatu dari harta ini (hadiah) dengan tanpa meminta-minta maka hendaknya ia menerimanya, karena itu adalah rizki yang Allah berikan kepadanya.”  [H.R. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v dalam Shahih At Targhib].
Kapan Boleh Menolak Hadiah?
Kewajiban untuk menerima hadiah bukan berarti mutlak harus dilakukan, namun dibolehkan untuk tidak menerimanya apabila ia memiliki alasan yang sesuai dengan syariat. Rasulullah ` pun pernah pula menolak hadiah dengan alasan tertentu. Di antara alasan bolehnya menolak hadiah:
  1. Karena adanya larangan untuk menerimanya dengan sebab syariat.
Dari As-Sha’ab bin Jatsamah z bahwa beliau suatu saat memberi hadiah kepada Nabi ` berupa daging kuda zebra, tetapi Rasulullah ` menolak hadiah tersebut. Maka berubahlah rona muka shahabat tersebut, melihat hal ini Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Saya tidak menerima hadiah tersebut kecuali sebabnya saya sedang dalam keadaan Ihram” [H.R. Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat ini beliau tidak menerima hadiah tersebut dikarenakan beliau dalam keadaan haji, sedangkan orang yang haji tidak diperbolehkan untuk makan dari hewan buruan, dan kuda zebra dalam hadits ini adalah hewan buruan.
  1. Karena udzur (alasan tertentu).
Dari Abdullah bin Abbas x bahwa suatu saat bibinya yaitu Ummu Hafid memberi hadiah kepada Nabi `  berupa: susu kering, minyak samin serta adhab (hewan sejenis biawak yang hidup di padang pasir, dan makanan pokoknya adalah tumbuhan), maka beliau memakan susu kering, minyak samin dan menolak adhab. [H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits ini Rasulullah ` menolak untuk memakan adhab. Adhab adalah makanan yang biasa dimakan oleh kaum Anshar namun tidak biasa dimakan oleh penduduk Mekah, sehingga beliau merasa risih untuk memakannya walaupun tidak diharamkan.
  1. Menolaknya karena khawatir mudharat yang akan menimpanya.
Dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Demi Allah, setelah tahun ini aku tidak akan menerima hadiah kecuali dari orang-orang yang berhijrah, orang Quraisy, orang Anshar, orang Daus, atau orang Tsaqafy.”  [H.R. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].
Penolakan beliau atas hadiah selain dari orang-orang yang tersebut ini disebabkan karena sebelumnya ada seorang Arab Badui yang memberikan hadiah kepada Nabi `. Merupakan kebiasaan mereka adalah memberikan hadiah dalam rangka untuk mendapatkan balasan yang lebih baik. Maka Rasulullah ` memberikan hadiah kepada orang ini dengan sesuatu yang dimampui Nabi `. Namun orang ini marah dan tidak terima, sampai akhirnya Nabi ` memberi dengan kadar yang diinginkan orang tersebut. Maka, di sini dapat diambil pelajaran bahwa kita boleh menolak hadiah atau pemberian jika hal tersebut akan memberikan kemudharatan kepada kita atau akan menjadikan rendah orang yang menerima hadiah tersebut.
Demikian sekilas mengenai hadiah dan hukum-hukumnya, semoga kita dapat memetik manfaat darinya. Wallahu a’lam. [hammam].
Sebarkan :

Kamis, 20 September 2012

Zakat Fitrah

Oleh: Abu Yusuf Abdurrahman
Tak terasa bulan Ramadhan yang mulia hampir berlalu. Hampir lengkap kita melaksanakan ibadah puasa dalam bulan penuh rahmat ini. Akan tetapi, ada satu ibadah yang masih wajib kita tunaikan sebelum kita berpisah dengan bulan Ramadhan ini. Ibadah yang diwajibkan oleh Rasulullah ` sebagai bentuk kepedulian kepada orang miskin serta sebagai penyuci puasa kita dari kekurangan. Ibadah tersebut adalah zakat fitrah yang telah Ibnu ‘Abbas c ungkapkan di dalam sebuah hadits:

“Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan yang sia-sia dan yang menjurus kepada jima’ serta untuk memberi makan kepada orang miskin.” [H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
Maka, dalam lembaran berikut ini akan kita bahas mengenai zakat fitrah ini agar kita beramal di atas koridor syariat, bukan di atas koridor adat istiadat ataupun perasaan. Karena, sebagaimana kita ketahui bahwa suatu amalan tidaklah diterima oleh Allah kecuali terpenuhi padanya syarat ikhlas kepada Allah dan mutaba’ah (meneladani) kepada Rasul `.
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, budak maupun merdeka. Dasar dari hal ini adalah ucapan Abdullah bin Umar c:

“Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah, satu sha’ kurma kering atau satu sha’ gandum, wajib bagi setiap budak atau orang yang merdeka, muda atau tua.” Dan di dalam riwayat lain, “Wajib bagi orang yang merdeka atau budak, baik laki-laki atau perempuan dari kaum muslimin.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Dari hadits di atas pula, bisa kita ambil kesimpulan bahwa zakat fitrah hanyalah diwajibkan bagi seorang muslim, dan tidak sah zakat fitrah yang diberikan oleh orang kafir.
Zakat fitrah ini tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mampu. Yang dimaksud mampu di sini adalah memiliki kelebihan satu sha’ makanan pokok dari kebutuhannya satu hari ‘Id dan malamnya. Jadi, orang yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan pokok dari kebutuhan sehari semalamnya, wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun hamba sahaya dan anak kecil yang ditanggung nafkahnya, maka zakat fitrahnya wajib dibayarkan oleh orang yang bertanggung jawab menafkahinya. Demikian pula anak kecil yang dilahirkan meskipun beberapa menit sebelum shalat Idul Fitri, wajib untuk dibayarkan zakat fitrahnya oleh ayahnya.
Kadar Zakat Fitrah
Zakat fitrah yang wajib dibayarkan adalah setengah sha’ untuk gandum jenis burr, hinthah, dan qamh (gandum jenis yang baik), Sedangkan untuk gandum jenis sya’ir, dan makanan pokok yang lain satu sha’. Hal ini didasarkan pada hadits yang telah kami sebutkan di muka, “Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah, satu sha’ kurma kering…” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Adapun dalil kadar zakat fitrah dari gandum jenis burr, hinthah, dan qamh berupa setengah sha’ adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Ibnu Abi Syaibah dari Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau dahulu mengeluarkan atas nama keluarganya, yang merdeka maupun yang budak dua mudd (setengah sha’) dari hinthah atau satu sha’ kurma kering… [dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani “sanadnya shahih”].
Sha’ adalah sebuah ukuran volume yang dikenal orang-orang Arab. Satu sha’ adalah empat mudd, sedangkan satu mudd adalah seukuran tangkupan dua tangan orang yang sedang. Apabila diwujudkan dalam bentuk gandum yang bagus, maka berat satu sha’ adalah 2,04 kg.[Syarhul Mumti’]
Karena sha’ adalah ukuran volume, berat satu sha’ suatu barang berbeda dengan berat satu sha’ barang yang lain tergantung dari berat jenis barang tersebut. Jadi, untuk beras, seyogianya kita berhati-hati dan menambahinya karena biasanya gandum memiliki berat jenis lebih besar daripada beras. Ukuran 2,5 kg -insya Allah- merupakan ukuran yang mencukupi untuk membayar zakat fitrah.
Apabila seseorang ingin untuk menambahi jumlah zakat yang dibayarkan, maka kelebihan dari kadar zakat ini terhitung sebagai sedekah.
Bentuk Zakat Fitrah
Zakat fitrah yang diberikan berupa makanan pokok negeri setempat meskipun makanan tersebut tidak disebutkan secara tegas di dalam hadits-hadits. Hal ini didasarkan ucapan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z:

“Dahulu, pada masa hidup Rasulullah `, kami membayarkan pada hari Fitri satu sha’ makanan; dan pada waktu itu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu kering dan kurma kering.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Pada asalnya, tidak diperbolehkan membayarkan zakat fitrah dengan bentuk uang. Akan tetapi, apabila terdapat hal yang menuntut pembayaran zakat fitrah ini berupa uang, maka diperbolehkan. Seperti, apabila dibayarkan berupa makanan pokok justru akan menyebabkan kesulitan bagi penerima zakat karena harus menggilingnya dan seterusnya. Meski demikian, diperbolehkan memberikan uang kepada petugas zakat untuk dibelikan makanan pokok yang kemudian diserahkan kepada yang berhak berupa makanan pokok.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah sejak masuk waktu maghrib malam hari Fitri hingga shalat ‘Id dilaksanakan. Sedangkan waktu terbaik untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah pagi hari sebelum shalat. Hal ini didasarkan pada hadits:

“Bahwasanya Nabi ` memerintahkan [ditunaikannya] zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menuju shalat.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Apabila ditunaikan setelah shalat, maka zakat tersebut tidak terhitung sebagai pembayaran zakat pada waktunya, tetapi terhitung sebagai qadha` (pengganti), dan orang yang melakukan hal ini berdosa jika disengaja karena menunda pembayarannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah `:

“Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat, maka ini terhitung sebagai zakat yang diterima, adapun yang menunaikannya setelah shalat, maka ini terhitung sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang biasa.” [H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
Diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah ini kepada petugas pengambil zakat satu atau dua hari sebelum hari ‘Id sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar dan para sahabat yang lain g.
Satu hal yang penting untuk diperhatikan, waktu yang teranggap dalam penyerahan zakat fitrah adalah ketika diserahkan kepada yang berhak yaitu fakir miskin, bukan kepada pengurus zakat (‘amil). Jadi, apabila zakat dibayarkan melalui pengurus zakat, pengurus zakat tersebut wajib menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Id dilaksanakan.
Alokasi Pemberian Zakat Fitrah
Terjadi silang pendapat di antara para ulama mengenai siapa yang berhak mendapatkan zakat fitrah. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah diberikan kepada delapan golongan sebagaimana zakat harta. Argumen mereka adalah karena Rasulullah ` menyebut zakat fitrah sebagai ‘zakat’, maka hukum yang dimiliki pun sama dengan hukum zakat harta dan pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Sebagian lain berpendapat bahwa zakat fitrah ini hanya diberikan kepada fakir dan miskin. Di antara ulama yang berpendapat ini adalah Malikiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan murid beliau, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahumahumullah. Mereka berdalil dengan ucapan Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan di muka, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan yang sia-sia dan yang menjurus kepada jima’ serta untuk memberi makan kepada orang miskin.”
Asy-Syaukani mengatakan di dalam kitab beliau ‘Nailul Authar’, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang miskin, bukan golongan-golongan penerima zakat.”
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan di dalam ‘Zadul Ma’ad’, “Dahulu, bimbingan Rasulullah ` adalah mengkhususkan zakat fitrah ini untuk orang-orang miskin. Beliau tidak membaginya untuk delapan golongan satu bagian untuk ini satu bagian untuk itu. Beliau juga tidak memerintahkan hal ini. Demikian pula, ini tidak dilakukan oleh satu orang sahabat pun, atau orang yang setelah mereka.”
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang kami pilih dikarenakan alasan-alasan yang telah dikemukakan. -Allahu a’lam-
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa memberikan zakat fitrah kepada pengurus zakat (‘amil) tidak diperbolehkan. Apalagi diberikan kepada ta`mir masjid, imam, penceramah, atau dialokasikan untuk pembangunan masjid yang sebenarnya bukan termasuk delapan golongan penerima zakat. Kecuali, apabila pengurus zakat, ta`mir masjid, imam, dan penceramah tersebut merupakan orang miskin yang pantas untuk mendapatkan zakat fitrah.
Diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah untuk kerabat yang miskin dan memenuhi syarat penerima zakat. Bahkan, hal ini lebih baik daripada memberikan kepada orang yang selainnya. Karena orang yang memberikan zakat kepada kerabat mendapatkan dua pahala: pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah. Hal ini didasarkan pada hadits:


“Sedekah bagi orang miskin adalah sedekah saja, sedang bagi kerabat adalah dua kebaikan: sedekah dan menyambung kekerabatan.” [H.R. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan lainnya, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Hasan Shahih”].
Orang yang menerima zakat fitrah ini haruslah seorang muslim, tidak boleh diberikan kepada orang kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah, sehingga mendapatkan hak-hak yang hampir sama dengan muslimin). Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah bahwa beliau mengatakan, “Ahlidz Dzimmah (kafir dzimmi) tidak memiliki hak dari sedekah yang wajib sekalipun. Akan tetapi, jika ada seseorang menginginkan, dia diperbolehkan untuk bersedekah kepada mereka dari selain sedekah wajib.”
Kemudian, para ulama juga membahas apakah diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah ini kepada fakir miskin di wilayah selain diambilnya zakat tersebut. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh diberikan kepada fakir miskin di luar wilayah pengambilan zakat. Mereka berargumen dengan hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah ` bersabda saat mengutusnya ke Yaman:


“Kemudian beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka untuk menunaikan sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Mereka memahami bahwa dari ucapan, “dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka” bahwa zakat tersebut dikembalikan kepada fakir miskin di wilayah mereka, tidak diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Ulama yang lain berpendapat bahwa kata “mereka” dalam sabda Rasulullah ` tersebut maksudnya adalah kaum muslimin secara umum, bukan khusus bagi penduduk wilayah tersebut. Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang kami pilih. Allahu a’lam.
Akan tetapi, lebih baik untuk memberikan fakir miskin di tempat tersebut terlebih dahulu, lalu jika terdapat sisa zakat barulah diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Demikian bahasan singkat mengenai zakat fitrah yang memungkinkan untuk dituliskan dalam lembaran kecil ini. Semoga Allah l menerima zakat kita sebagai penyuci puasa kita dalam Ramadhan ini sehingga kita keluar dari bulan ini dengan memborong pahala yang banyak. Amin. Allahu a’lam bish shawab.
Sebarkan tulisan ini :
Sebarkan :

Larangan Untuk Mendahului Imam dalam Shalat

Oleh: Asy-Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang baik lagi banyak. Amma ba’d:
Allah ta’ala telah menjadikan imam untuk diikuti oleh makmum di dalam shalat. Konsekuensinya, perbuatan makmum mengikuti apa yang dilakukan imamnya. Tidak mendahuluinya atau berbarengan dengannya. Makmum melakukan gerakan setelah imamnya. Dia tidak bertakbir kecuali setelah imamnya takbir, dia tidak ruku’ kecuali setelah imamnya ruku’, tidak i’tidal kecuali setelah imamnya i’tidal, tidak sujud kecuali setelah imamnya sujud, dan tidak bangkit dari sujudnya kecuali setelah imamnya bangkit.
Dalam hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, “Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti. Maka jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika dia mengatakan, ‘Sami’allahu liman hamidah’ maka ucapkanlah ‘Rabbana lakal hamdu’, jika dia sujud maka sujudlah, jika imamnya shalat dengan berdiri, maka shalatlah kalian semua dengan berdiri, jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk.” H.R. Abu Dawud [Shahih, diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan lafal yang serupa].
Para sahabat ridhwanullah ‘alaihim telah menjaga petunjuk Nabi ini. Mereka mengaplikasikannya dengan sebaik-baiknya dan sesempurnanya. Dari sahabat Barra` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau mengatakan, ‘Sami’allahu liman hamidah’ tidak ada salah seorang dari kami yang mencondongkan punggungnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan dahi beliau di atas tanah.” H.R. Al-Bukhari dan Muslim.
Dari ‘Amr bin Huraits, beliau mengatakan, “Saya shalat Subuh di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku pun mendengar beliau membaca, ‘Falaa uqsimu bil khunnas, al-jawaril kunnas’ [Q.S. At-Takwir]. Dan, salah seorang dari kami tidak mencondongkan punggungnya hingga beliau sujud dengan sempurna.” H.R. Muslim.
Padahal, jika kita perhatikan secara sekilas makmum tidak mungkin menyelesaikan shalat sebelum imamnya, lantas kenapa dia mendahului gerakan imam? Dia melakukannya hanyalah karena syaithan yang memperlihatkan bahwa mendahului imam adalah perbuatan baik. Syaithan melakukannya agar pahala shalatnya berkurang. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Orang yang mengangkat atau merendahkan kepalanya sebelum imamnya, ubun-ubunnya ada di tangan syaithan.” Diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwaththa`.
Di sisi lain, perbuatannya ini menjerumuskannya ke dalam ancaman bagi orang yang mendahului imam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidakkah takut salah seorang dari kalian jika mengangkat kepalanya sebelum imam untuk Allah ubah kepalanya seperti kepala keledai atau bentuknya menjadi bentuk keledai.” H.R. Al-Bukhari dan Muslim.
Saya memohon kepada Allah untuk memberi kita rizki berupa pemahaman agama-Nya dan empati kepada para hamba-Nya serta ittiba’ (meneladani) sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahu a’lam.
Sumber: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=1014
Sebarkan tulisan ini :
Sebarkan :

Bersin

Bersin adalah nikmat yang sering terlupakan, begitu lega rasanya  ketika hendak bersin kemudian bisa benar-benar terwujud. Bagaimanakah Islam mengajarkan cara mensyukuri nikmat ini?
Dari Abu Hurairah z, dari Nabi `, beliau bersabda, “Sungguh Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Apabila seseorang bersin kemudian memuji Allah (membaca alhamdulillah),  maka setiap muslim yang mendengar wajib untuk menjawabnya.” [H.R. Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani v].
Ibnul Qayyim v menjelaskan, “Menjawabnya adalah fardhu ‘ain, karena diperintahkan dengan tegas.”
Syaikh Al-Albani v mengatakan, “Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya menjawab bersin bagi setiap yang mendengar  (orang yang bersin membaca Alhamdulillah)”.

Bagaimana menjawabnya?
Jawabannya disebutkan dalam hadits berikut. Dari Ali bin Abu Thalib z, dari Nabi `, beliau bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian bersin, maka bacalah, ‘alhamdulillah’. Dan hendaknya saudaranya menjawab, ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)’, apabila dijawab dengan, ‘yarhamukallah’, ucapkanlah,’ yahdikumullah wa yushlihu balakum (semoga Allah memberikan petunjuk kepadamu serta memperbaiki keadaanmu)”. [H.R. Al-Bukhari].

Bagaimana jika yang bersin tidak membaca hamdalah?
Jika yang bersin tidak mengucapkan ‘alhamdulillah’, orang yang mendengarnya tidak mendoakannya ‘yarhamukallah’. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas z, beliau mengatakan, “Dua orang bersin di dekat Nabi, beliau mendoakan yang satu dan tidak kepada yang lain, maka salah satunya bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau mendoakan ini tapi tidak mendoakan saya?”
Beliau bersabda, “Karena yang ini membaca alhamdulillah, adapun engkau tidak.” (disebutkan dalam Shahih Al Adabul Mufrad).

Bagaimana ketika bersin berulang-ulang?
Apabila lebih dari tiga kali, tidak diharuskan menjawab doa bersin sebagaimana diterangkan oleh Abu Hurairah, ”Jawablah doa bersin sekali, dua kali, atau tiga kali. Selebihnya berarti influensa”.

Bagaimana seandainya orang kafir yang bersin?
Abu Musa z mengisahkan, bahwa dahulu orang Yahudi sering menyengaja bersin di dekat Nabi `, dengan harapan didoakan oleh beliau ‘yarhamukallah’ tetapi beliau mendoakan, ‘yahdikumullah wa yuslihubaalakum (semoga Allah menunjukimu dan memperbaiki keadaanmu)’. Allahu a’lam. (farhan).
(disarikan dari Syarh Shahih Al Adabul Mufrad).

Sebarkan :

Rabu, 19 September 2012

Tuntunan Bertamu

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari interaksi antara sesama. Interaksi tersebut akan baik jika disertai dengan saling menghormati dan beradab dengan adab yang mulia. Islam datang sebagai agama yang menyempurnakan seluruh akhlak yang mulia, bukan mengesampingkan apalagi menghilangkannya. Termasuk di dalamnya adab dalam bertamu. 1. Mengucap salam dan meminta izin untuk masuk. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yaang beriman janganlah kalian masuk ke rumah kalian sampai kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya, hal itu lebih baik semoga kalian selalu mengingatnya. Dan apabila kalian tidak mendapatkan seorang pun maka janganlah kaliaan memasukinya sampai kalian diberi izin. Dan apabila dikatakan kepada kalian, ‘kembalilah’ maka kembalilah, hal itu lebih suci bagi kalian dan Allah maha melihat apa yang kalian kerjakan.” [Q.S. An Nur:27,28]. Rasulullah ` pernah bersabda, “apabila salah seorang kalian meminta izin masuk tiga kali dan tidak mendapatkan izin masuk maka kembalilah.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari z]. 2. Tidak boleh mengintip dalam rumah. Mungkin kita sering mendapatkan kaum muslimin tatkala bertamu ia mengucap salam sambil melihat-lihat kedalam rumah lewat jendela rumah atau mengintip lewat celah-celah rumah. Sebenarnya, Rasulullah ` telah mewanti-wanti dan melarang kita dari perkara ini. Dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah ` bersabda, ”Barangsiapa yang melihat-lihat kedalam rumah suatu kaum tanpa meminta izin kepada mereka maka sungguh telah halal bagi kaum tersebut untuk mencolok kedua matanya.” [H.R. Muslim]. 3. Mengetuk pintu dengan pelan. Upayakan mengetuk pintu dengan pelan atau sesuai kebutuhan, jangan membuat kaget tuan rumah. Anas bin Malik z mengisahkan, “Dahulu pintu-pintu rumah Nabi ` diketuk dengan ujung kuku.” [H.R. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad]. 4. Tidak berdiri menghadap pintu rumah tatkala pintu terbuka. Namun hendaknya tamu berada di samping kiri atau kanannya. Karena ditakutkan tanpa sengaja melihat aurat orang yang berada dalam rumah tersebut. Dari Abdullah bin Busr z berkata, “Dahulu jika Rasulullah ` datang menuju pintu rumah suatu kaum (bertamu), beliau tidak menghadap langsung ke arah pintu. Namun, berada di sebelah kanan atau kiri pintu dan berkata, “ Assalamu alaikum assalamu alaikum.” [H.R. Abu Dawud, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad]. 5. Hendaknya menyebutkan nama tatkala ditanya oleh pemilik rumah. Dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah untuk bertanya tentang hutang yang menjadi tanggungan ayahku, maka akupun mengetuk pintu rumah beliau. Rasulullah ` bertanya, ‘siapakah itu?’ Aku menjawab, ‘Ini saya, maka beliau pun bersabda, ‘Saya…saya…’ Seakan beliau membenci jawaban itu.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Ketidaksukaan beliau ` terhadap jawaban ini karena sekedar lafadz ‘saya’ tidak diketahui siapa yang mengatakannya. Sehingga tidak akan berfaedah tatkala seseorang meminta izin masuk. 6. Berupaya untuk berpenampilan sebagus mungkin. Tatkala seseorang bertamu, maka hendaknya ia memperhatikan penampilannya. Supaya pemilik rumah tidak merasa keberatan dan risih kepadanya. Hal ini telah diajarkan oleh para pendahulu kita. Dari Abu Jaldah berkata, “Abu Umayyah datang menemui Abul Aliyah dengan memakai pakaian dari wol. (Melihat hal itu) berkatalah Abu Al Aliyah, “Seorang muslim apabila mereka saling berkunjung mereka saling memperbaiki pakaian mereka.” Bagusnya pakaian bukan berarti harus baru dan mahal, namun pakaian yang sederhana pun tidak mengapa asalkan baik dan rapi. Baiknya penampilan saat menemui tamu telah dituntunkan oleh Rasulullah `, maka sebaliknya seorang tamu pun dituntut untuk menemui pemilik rumah dengan keadaan yang baik. 7. Tidak membebani pemilik rumah dengan sesuatu yang memberatkan. Memuliakan tamu adalah wajib dalam hukum islam. Pemuliaan dalam bentuk sambutan, tanggapan, penjamuan serta yang lainnya. Sehingga tamu pun harus melihat dan mempertimbangkan waktu bertamu, kesibukan tuan rumah, dan kondisi yang lainnya. Hal ini apabila diabaikan, akan menyebabkan pemilik rumah merasa berat hati atau bahkan sempit dadanya sehingga akan mengakibatkan perkara–perkara yang tidak baik, dari sisi ketidak ridhaan pemilik rumah dan penelantaran hak keluarga. 8. Mendoakan tuan rumah. Seorang tamu yang mendapatkan perlakuan yang baik dari pemilik rumah, berupa pelayanan, hidangan yang disuguhkan, dan yang lainnya, sudah semestinya ia membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan pula. Kalau tidak mampu maka dengan doa. Abdullah bin Umar x meriwayatkan bahwa Rasulullah ` bersabda, “Siapa saja yang berbuat baik kepada kalian, balaslah dengan yang setimpal. Apabila kalian tidak memiliki sesuatu yang setimpal maka doakanlah sampai kalian memandang telah membalasnya dengan dengan setimpal.” [H.R. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Abani dalam Irwaul Ghalil] 9. Shalat bersama pemilik rumah. . Hal ini pulalah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah `. Dalam hadits dari Anas bin Malik z, “Bahwa suatu saat Rasulullah ` mengunjungi satu keluarga Anshar, beliau memakan hidangan mereka. Tatkala selesai, beliau mencari satu tempat dalam rumah tersebut, lalu tikar yang ada di situ diperciki air. Kemudian beliau shalat dan mendoakan kebaikan bagi mereka.” [H.R Al Bukhari]. Seandainya kita tidak mampu untuk melakukan shalat karena halangan tertentu, maka cukuplah kita mendoakan kebaikan bagi mereka. Allah tidak membebani seorang makhluk dengan sesuatu yang tidak dimampuinya. Demikian sebagian adab bertamu, semoga kita dapat melaksanakannya dengan baik, sehingga kita dapat memetik pahala dalam bertamu dengan melakukan adab-adabnya. Wallahu a’lam. [hammam]. Referensi: Tafsir AlQuranul Adhim Jami’ ul ‘ulum wal hikam Shahih adabul Mufrad Sebarkan :

Menguap

Banyak dari kaum muslimin menyangka bahwa menguap adalah perkara yang lazim sebagaimana lazimnya seseorang merasakan kantuk, lapar, atau yang lainnya. Padahal, ternyata ada perkara yang luput dari pengetahuan kita mengenai menguap ini. Menguap disebabkan beratnya beban diri yang akan mengakibatkan lalai, malas, serta jeleknya pemahaman seseorang. Menguap merupakan perkara yang jelek sebab menguap membawa kepada perkara yang dibenci oleh syariat berupa sikap malas, lalai, serta pemahaman yang jelek. Lalu bagaimana pandangan syariat tatkala menguap datang menghampiri seseorang? Adab Menguap Menutup mulut dengan tangan. Karena menguap merupakan sesuatu yang dibenci syariat, syaithan pun menyukainya. Terbukanya mulut karena sesuatu yang dibenci syariat ini adalah jalan masuk yang lapang bagi syaithan untuk menganggu manusia. Syaithan bisa masuk ke tubuh manusia melewatinya. Oleh sebab itulah syariat memerintahkan kita untuk menutup mulut tatkala menguap. Hal ini sebagaimana telah disebutkan ileh Abu Sa’id Al-Khudri z, dari Rasulullah ` bahwa beliau bersabda yang artinya, “Apabila salah seorang dari kalian menguap maka hendaknya ia meletakkan tangannya di mulutnya karena syaithan akan memasukinya.” [H.R. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Al-Adabul Mufrad]. Syaithan tidak hanya menunggu-nunggu kesempatan untuk masuk ke dalam tubuh manusia tatkala menguap. Bahkan, menguap itu sendiri timbul dari sebab perbuatan syaithan. Ibnu Abbas c menjelaskan, “Sesungguhnya menguap dari syaithan.” [diriwayatkan di dalam Adabul Mufrad, shahih]. Menahan diri dari menguap. Rasulullah ` telah memerintahkan kita untuk menahan diri dari menguap sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hurairah z bahwasanya Nabi ` bersabda, “Menguap berasal dari syaithan. Apabila salah seorang dari kalian menguap, hendaknya ia melawan semampunya. Jika dia sampai berucap ‘hah’ (tatkala menguap) maka syaithan akan tertawa karenanya.” [Shahih Al-Adab Al-Mufrad]. Pembaca, bagaimana sekiranya seseorang menguap dan ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan? Tentu syaithan akan bergembira dan tertawa karenanya. Dan, bertambah lagi kesempatannya untuk mengganggu anak Adam. Lalu, apakan seorang muslim rela musuh mereka menertawainya dan bergembira karena telah berhasil memperdayainya? Bukankah seseorang akan memperlakukan musuh sebagaimana seorang musuh? “Sesungguhnya syaithan adalah musuh bagi kalian, maka perlakukanlah ia sebagai seorang musuh.” [Q.S. Fathir:6]. Allahu a’lam. (hammam) Referensi: Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad Sebarkan :